Juminah tidak terlalu perduli dengan isi perut yang sedang dikandungnya. Tentu tidak, karena dia sedang melasanakan tanggungjawabnya sebagai seorang istri mempersiapkan makanan setiap hari, pagi, siang dan malam. Bahkan terkadang dia harus melakukannya pula manakala sedang ada tamu yang waktunya tidak tentu. Apalagi kehamilannya kali ini adalah kehamilan untuk anak yang ketiga, bagi orang desa hamil sambil kerja rumahan merupakan hal yang terlalu biasa. Apalagi suaminya, Sutarjo merupakan seorang yang cekatan dan pekerja keras dalam melakukan semua pekerjaannya.
Malam sudah larut, bintang-bintang terlihat terang. Walau malam sebelumnya ada sedikit gerimis datang akan tetapi malam ini terang sekali. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di pertengahan bulan September seperti ini para petani biasanya sudah mulai melakukan cocok tanam di sawah atau ladang mereka. Kali ini mereka sedang harap-harap cemas, mereka sedang menunggu datangnya hujan yang masih juga belum datang kecuali adanya gerimis singkat malam sebelumnya. Hujan unruk menyirami tanah yang sudah lama mengering selama melalui musim kemarau panjang sejak bulan April lalu. Tanah bagaikan tubuh saja, ia juga ingin mendapatkan guyuran air dari langit agar semua basah, kotorankotoran yang menempel aggar terhanyut dari setiap sudut bumi. Tanah juga ingin mandi membersihkan diri.
Bibit-bibit yang akan ditanam sudah disiapkan bahkan sejak dari awal bulan lalu. Ada yang mempersiapkan untuk menanam padi, di bagian bumi lain di Indonesia, hujan sudah turun bahkan sudah ada yang mempersiapkan unruk menanam jagung, bahkan ada yang mempersiapkan untuk menanam pohon buah.
Bibit-bibit yang akan ditanam sudah disiapkan bahkan sejak dari awal bulan lalu. Ada yang mempersiapkan untuk menanam padi, di bagian bumi lain di Indonesia, hujan sudah turun bahkan sudah ada yang mempersiapkan unruk menanam jagung, bahkan ada yang mempersiapkan untuk menanam pohon buah.
Hujan sudah benar-benar mengguyur sebagian tanah pertanian terutama daerah lembah gunung Gabah Desa Sumber Bejo, Kecamatan Watu Agung, Nganjuk. Bahkan hujan di desa ini datangnya agak terlambat apabila dibandingkan dengan keadaan hujan seluruh Tanah Jawa yang dipastikan sudah basah kuyub diguyur hujan. Walaupun hujan lebat di Kecamatan Watu Agung secara umum masih belum cukup untuk memulai menanam padi, kecuali di daerah tertentu di Kecamatan ini. Pada hal, ini biasanya dimaklumi sebagai awal dari musim tanam karena sebentar lagi bulan akan berganti menjadi bulan Oktober.
Sutarjo jadi bingung ketika hujan mulai datang. Dia tidak tega untuk mengajak istrinya dalam membantu sebagian pekerjaannya di sawah ketika melihat kenyataan perut istrinya yang sudah nampak maksimum besarnya. Inilah yang membuat dia terpaksa harus mengerjakannya sendiri, seorang diri terhadap sawah-sawah milik mertuanya yang cukup luas itu. Mengharap tetangga sekitar untuk membantunya sungguh tidak mungkin, ini karena semua orang sedang sibuk dengan tanah-tanah mereka sendiri di awal musim hujan ini. Walau Tarjo sebagai orang gunung pada masa sebelum kawin dan belum terlalu paham bercocok tanam di sawah, pengetahuan setahun lebih yang diajarkan mertuanya yang juga teman ayahnya sebelum meninggal lebih dari empat tahun lalu benar-benar ia praktekkan. Dengan karakternya yang serius, fokus serta mau bekerja keras dan sungguh-sungguh, maka bertani di sawah bukanlah hal yang susah bagi Tarjo saat ini. Hanya saja mengerjakan sendiri tanah sebanyak hampir 2,5 Hektar tentu memerlukan waktu yang agak panjang. Demikian bisikan di dalam pikirannya sebelum ia pasrah untuk terus melakukan cocok tanam sendiri dengan resiko apapun hasilnya nanti. Toh dia sudah mempersiapkannya sejak sebulan yang lalu.
Merupakan cita-cita Tarjo sejak kecil ingin bekerja sendiri. Tentu yang ia maksud adalah berdagang sendiri ataupu apa yang tidak menggantungkan secara langsung dari pihak lain. Ini dikarenakan karakter pribadinya yang tidak ingin menjadi orang yang diperintah orang lain dalam bekerja. Kini cita-cita itu sebagian sudah ia capainya, menangani sawah ia lakukan dan kalaupun ada yang lain ikut mengerjakannya, maka pekerjaan itupun tetap ia pimpin sendiri.
Kini Juminah sedang hamil tua, perempuan yang hanya tamat sekolah dasar saja itu merupakan wanita yang cukup beruntung karena ia dapat menyelesaikan sampai lulus sekolah dasar dibandingkan dengan wanita-wanita lain di sekitar rumah desanya yang kebanyakan harus putus sekolah di tengah jalan karena harus membantu pekerjaan orang tua mereka dalam menyelesaikan pekerjaan terutama di sawah ataupun pekerjaan di rumah mereka. Walaupun demikian, ia bukanlah seorang wanita yang tidak mudah bergaul. Ia terkenal sebagai seorang gadis bukan pemalu walau bisa supel di dalam bergaul dengan sesamanya. Pada usia 17 tahun ia memulai biduk rumah tangga dengan Sutarjo yang saat itu sedang berusia 25 tahunan.
Merupakan cita-cita Tarjo sejak kecil ingin bekerja sendiri. Tentu yang ia maksud adalah berdagang sendiri ataupu apa yang tidak menggantungkan secara langsung dari pihak lain. Ini dikarenakan karakter pribadinya yang tidak ingin menjadi orang yang diperintah orang lain dalam bekerja. Kini cita-cita itu sebagian sudah ia capainya, menangani sawah ia lakukan dan kalaupun ada yang lain ikut mengerjakannya, maka pekerjaan itupun tetap ia pimpin sendiri.
Kini Juminah sedang hamil tua, perempuan yang hanya tamat sekolah dasar saja itu merupakan wanita yang cukup beruntung karena ia dapat menyelesaikan sampai lulus sekolah dasar dibandingkan dengan wanita-wanita lain di sekitar rumah desanya yang kebanyakan harus putus sekolah di tengah jalan karena harus membantu pekerjaan orang tua mereka dalam menyelesaikan pekerjaan terutama di sawah ataupun pekerjaan di rumah mereka. Walaupun demikian, ia bukanlah seorang wanita yang tidak mudah bergaul. Ia terkenal sebagai seorang gadis bukan pemalu walau bisa supel di dalam bergaul dengan sesamanya. Pada usia 17 tahun ia memulai biduk rumah tangga dengan Sutarjo yang saat itu sedang berusia 25 tahunan.
Perawakan sedikit kurus akan terlihat semakin kurus manakala rambutnya diikat gelung menggantung di belakang kepalanya walau ia terlihat lebih dewasa dan anggun. Ia sengaja selalu menggelung rambutnya agar dapat menyembunyikan rambut keritingnya yang akan terurai melebar apabila dibuka. Juminah termasuk memiliki bulu mata bak kail pancing dengan wajah ayu melebihi gadis-gadis tetangga seusianya ketika masih belum berumah tangga. Ia terkenal ringan tangan, maka ketika belum berumah tangga ibunya tidak heran ada saja yang dibawa pulang karena sering membantu orang yang sedang sibuk bekerja. Terutama membantu mencongok tembakau milik tetanga-tetangganya. Tidak terasa di usianya yang hampir mendekati 23 tahun tepatnya pada tanggal 28 Oktober nanti ia dipastikan akan sudah memiliki 3 orang anak.
EMBOK TUN
EMBOK TUN
Hampir semua orang di Desa Sumber Bejo akan mengenal Embok Tun panggilan wanita yang telah genap berusia setengah abad sebulan yang lalu itu, nama sebenarnya adalah Sumiatun. Dia adalah seorang janda muda beranak satu sebelum menikah lagi dengan Suprapto yang kini sudah tiga tahun almarhum kemudian dikaruniai satu-satunya anak perempuan bernama Juminah.
Suprapto mengeluh sakit kepala suatu hari menjelang siang setelah pulang dari sawah wetan (timur dalam Bahasa Indonesia). Kala itu biasanya dia langsung menuju meja makan berkursi satu di pojokan belakang pintu rumah menuju dapur yang selamanya terbuka itu setelah membersihkan diri selesai ia lakukan. Hari itu lain ceritanya, dia hanya mencuci tangan dan setelahnya mengambil kendi berisi air dan langsung diteguknya. Air terasa segar karena dingin ketika diminum saat tiba dari sawah. Pening di kepala yang ia rasakan masih saja tidak pergi walau air sudah menyegarkan rasa seluruh tubuhnya. Tak lama kemudian ia memilih membaringkan badannya di atas lincak di bawah jendela terbuka dalam ruang tamu rumahnya. Hembusan angin lebih membuatnya tertidur lelap daripada gangguan suara dokar yang terkadang lewat di jalan depan rumahnya, Ia tak seperti biasanya.
Juminah dan suaminya biasanya belum mau makan sebelum ayahnya mengambil makanannya. Tetapi kali ini lain. Suaminya yang sudah membersihkan diri setelah hampir setengah hari mengerjakan tanaman di sawah sebelah barat membuat ia terpaksa meminta suaminya mengambil terlebih dahulu, kemudiaan ia mengikutinya. Itu karena ia tidak tau pasti kapan ayahnya akan bangun dari tidurnya, ia tidak ingin membangunkan ayahnya karena ia merasa kasihan kepada suaminya dan ia sendiri yang sudah terasa lapar. Nasi yang masih utuh di dalam wakul yang dikelilingi oleh cowek penuh sambal brambang (bawang merah), sayur atau jangan asem serta gorengan tempe dan ikan asin ia ambil. Semua itu telah siap di atas meja makan terselungkupi dengan tutup besar terbuat dari anyaman rotan kecil. Ia dan suaminya benar--benar menikmati masakan yang telah dibuat dan disiapkan oleh ibunya dan dia tadi. Seperti biasanya, setelah makan siang Juminah menyibukkan dirinya kembali dengan pekerjaan di rumahnya. Kali ini ia harus menjaga jemuran jagung di pelataran samping rumahnya sambbil duduk di atas susunan bata pembatas rumah dan pelataran samping ditemani oleh dua tetangganya yang ingin membunuh waktu mengobrol bersama.
Lain halnya dengan Sumiatun, ia tetap setia menunggu suaminya makan terlebih dahulu sebelum gilirannya. Rasa laparnya mendorongnya untuk melihat suaminya yang sudah tertidur lebih dari dua jam lamanya itu tetapi masih belum terbangun. Ia merasa ada suatu keanehan dari cara tidurnya dan itu membuatnya menyentuh bagian kaki suaminya untuk membangunkan dari tidurnya. Sentuhan lembut istri tidak membangunkan Suprapto. Lelaki itu tetap saja tidak terbangun walaupun kakinya digoyang cukup keras bagaikan gempa bumi menggoyang pepohonan. Kecurigaan Sumiatun ternyata benar, Suprapto tidak akan pernah bangun lagi dari tidurnya, dia sudah wafat tanpa ada yang mengetahuinya.
Jeritan dua wanita ibu dan anak membuat para tetangganya berdatangan. Secepat kilat Sutarjo membenarkan posisi jasad di depan dua wanita yang ia cintai itu dengan menaruh kedua tangan ayah mertuanya ke atas dadanya. Lalu ia ambilkan jarik istrinya dari dalam lemari di dalam kamarnya. Ia menutup seluruh tubuh Almarhum Suprapto dengan jarik milik istrinya. Inilah akhir kali mereka melihat lelaki yang mereka cintai, lelaki tabah dan kuat itu kini sudah pergi untuk selamanya. Di rumah itu yang menjadi kepala keluarga sejak saat itu adalah Sutarjo, lelaki yang sangat hormat kepada ibu dari istrinya.
Bagi Sumiatun, ini adalah kali kedua kehilangan seorang suami. Yang lalu suaminya sering menghilang ke wanita lain sebelah desa suaminya. Ia terpaksa pulang kepada orang tuanya meninggalkan suami dan anak perempuannya tinggal bersama berkas mertuanya di desa suaminya. Nasehat dan tegoran sudah tidak mampu lagi menghentikan suaminya membelokkan hati ke wanita lain. Persiteruan hampir setiap saat di depan hidung kedua mertuanya membuatnya tidak tahan, selain kasihan kepada kedua mertuanya juga terhadap anak perempuannya yang masih kecil. Selanjutnya dia dan suaminya resmi berpisah sebelum suaminya menikah kembali dengan wanita lain yang ia idamkan ketika masih menjadi suaminya.
Ditinggal mati Suprapto, suaminya kali ini Sumiatun sudah tidak ingin menikah kembali, cucu-cucunya dari Juminah sudah cukup membuat sibuk dari kegiatan kesehariannya dan membuat hatinya merasa teteram serumah bersama mereka. Walau terkadang dia rindu kepada cucunya yang lain dari putri dengan suami lamanya yang kini berada di Kalimantan, luar pulau.
Bersambung.....