Friday, August 28, 2020

Cerita Fiksi:: CINTA SETAN DAN BINATANG-3 - MENUNGGU HUJAN TURUN

JUMINAH

Juminah tidak terlalu perduli dengan isi perut yang sedang dikandungnya. Tentu tidak, karena dia sedang melasanakan tanggungjawabnya sebagai seorang istri mempersiapkan makanan setiap hari, pagi, siang dan malam. Bahkan terkadang dia harus melakukannya pula manakala sedang ada tamu yang waktunya tidak tentu. Apalagi kehamilannya kali ini adalah kehamilan untuk anak yang ketiga, bagi orang desa hamil sambil kerja rumahan merupakan hal yang terlalu biasa. Apalagi suaminya, Sutarjo merupakan seorang yang cekatan dan pekerja keras dalam melakukan semua pekerjaannya.

Malam sudah larut, bintang-bintang terlihat terang. Walau malam sebelumnya ada sedikit gerimis datang akan tetapi malam ini terang sekali. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, di pertengahan bulan September seperti ini para petani biasanya sudah mulai melakukan cocok tanam di sawah atau ladang mereka. Kali ini mereka sedang harap-harap cemas, mereka sedang menunggu datangnya hujan yang masih juga belum datang kecuali adanya gerimis singkat malam sebelumnya. Hujan unruk menyirami tanah yang sudah lama mengering selama melalui musim kemarau panjang sejak bulan April lalu. Tanah bagaikan tubuh saja, ia juga ingin mendapatkan guyuran air dari langit agar semua basah, kotorankotoran yang menempel aggar terhanyut dari setiap sudut bumi. Tanah juga ingin mandi membersihkan diri.

Bibit-bibit yang akan ditanam sudah disiapkan bahkan sejak dari awal bulan lalu. Ada yang mempersiapkan untuk menanam padi, di bagian bumi lain di Indonesia, hujan sudah turun bahkan sudah ada yang mempersiapkan unruk menanam jagung, bahkan ada yang mempersiapkan untuk menanam pohon buah.

Hujan sudah benar-benar mengguyur sebagian tanah pertanian terutama daerah lembah gunung Gabah Desa Sumber Bejo, Kecamatan Watu Agung, Nganjuk. Bahkan hujan di desa ini datangnya agak terlambat apabila dibandingkan dengan keadaan hujan seluruh Tanah Jawa yang dipastikan sudah basah kuyub diguyur hujan. Walaupun  hujan lebat di Kecamatan Watu Agung  secara umum masih belum cukup untuk memulai menanam padi, kecuali di daerah tertentu di Kecamatan ini. Pada hal, ini biasanya dimaklumi sebagai awal dari musim tanam karena sebentar lagi bulan akan berganti menjadi bulan Oktober.

Sutarjo jadi bingung ketika hujan mulai datang. Dia tidak tega untuk mengajak istrinya dalam membantu sebagian pekerjaannya di sawah ketika melihat kenyataan perut istrinya yang sudah nampak maksimum besarnya. Inilah yang membuat dia terpaksa harus mengerjakannya sendiri, seorang diri terhadap sawah-sawah milik mertuanya yang cukup luas itu. Mengharap tetangga sekitar untuk membantunya sungguh tidak mungkin, ini karena semua orang sedang sibuk dengan tanah-tanah mereka sendiri di awal  musim hujan ini. Walau Tarjo sebagai orang gunung pada masa sebelum kawin dan belum terlalu paham bercocok tanam di sawah, pengetahuan setahun lebih yang diajarkan  mertuanya yang juga teman ayahnya sebelum meninggal lebih dari empat tahun lalu benar-benar ia praktekkan. Dengan karakternya yang serius, fokus serta mau bekerja keras dan sungguh-sungguh, maka bertani di sawah bukanlah hal yang susah bagi Tarjo saat ini. Hanya saja mengerjakan sendiri tanah sebanyak hampir 2,5 Hektar tentu memerlukan waktu yang agak panjang. Demikian bisikan di dalam pikirannya sebelum ia pasrah untuk terus melakukan cocok tanam sendiri dengan resiko apapun hasilnya nanti. Toh dia sudah mempersiapkannya sejak sebulan yang lalu.

Merupakan cita-cita Tarjo sejak kecil ingin bekerja sendiri. Tentu yang ia maksud adalah berdagang sendiri ataupu apa yang tidak menggantungkan secara langsung dari pihak lain. Ini dikarenakan karakter pribadinya yang tidak ingin menjadi orang yang diperintah orang lain dalam bekerja. Kini cita-cita itu sebagian sudah ia capainya, menangani sawah ia lakukan dan kalaupun ada yang lain ikut mengerjakannya, maka pekerjaan itupun tetap ia pimpin sendiri.

Kini Juminah sedang hamil tua, perempuan yang hanya tamat sekolah dasar saja itu merupakan wanita yang cukup beruntung karena ia dapat menyelesaikan sampai lulus sekolah dasar dibandingkan dengan wanita-wanita lain di sekitar rumah desanya yang kebanyakan harus putus sekolah di tengah jalan karena harus membantu pekerjaan orang tua mereka dalam menyelesaikan pekerjaan terutama di sawah ataupun pekerjaan di rumah mereka. Walaupun demikian, ia bukanlah seorang wanita yang tidak mudah bergaul. Ia terkenal sebagai seorang gadis bukan pemalu walau bisa supel di dalam bergaul dengan sesamanya. Pada usia 17 tahun ia memulai biduk rumah tangga dengan Sutarjo yang saat itu sedang berusia 25 tahunan. 

Perawakan sedikit kurus akan terlihat semakin kurus manakala rambutnya diikat gelung menggantung di belakang kepalanya walau ia terlihat lebih dewasa dan anggun. Ia sengaja selalu menggelung rambutnya agar dapat menyembunyikan rambut keritingnya yang akan terurai melebar apabila dibuka. Juminah termasuk memiliki bulu mata bak kail pancing dengan wajah ayu melebihi gadis-gadis tetangga seusianya ketika masih belum berumah tangga. Ia terkenal ringan tangan, maka ketika belum berumah tangga ibunya tidak heran ada saja yang dibawa pulang karena sering membantu orang yang sedang sibuk bekerja. Terutama membantu mencongok tembakau milik tetanga-tetangganya. Tidak terasa di usianya yang hampir mendekati 23 tahun tepatnya pada tanggal 28 Oktober nanti ia dipastikan akan sudah memiliki 3 orang anak.

EMBOK TUN

Hampir semua orang di Desa Sumber Bejo akan mengenal Embok Tun panggilan wanita yang telah genap berusia setengah abad sebulan yang lalu itu, nama sebenarnya adalah Sumiatun. Dia adalah seorang janda muda beranak satu sebelum menikah lagi dengan Suprapto yang kini sudah tiga tahun almarhum kemudian dikaruniai satu-satunya anak perempuan bernama Juminah. 

Suprapto mengeluh sakit kepala suatu hari menjelang siang setelah pulang dari sawah wetan (timur dalam Bahasa Indonesia). Kala itu biasanya dia langsung menuju meja makan berkursi satu di pojokan belakang pintu rumah menuju dapur yang selamanya terbuka itu setelah membersihkan diri selesai ia lakukan. Hari itu lain ceritanya, dia hanya mencuci tangan dan setelahnya mengambil kendi berisi air dan langsung diteguknya. Air terasa segar karena dingin ketika diminum saat tiba dari sawah. Pening di kepala yang ia rasakan masih saja tidak pergi walau air sudah menyegarkan rasa seluruh tubuhnya. Tak lama kemudian ia memilih membaringkan badannya di atas lincak di bawah jendela terbuka dalam ruang tamu rumahnya. Hembusan angin lebih membuatnya tertidur lelap daripada gangguan suara dokar yang terkadang lewat di jalan depan rumahnya, Ia tak seperti biasanya.

Juminah dan suaminya biasanya belum mau makan sebelum ayahnya mengambil makanannya. Tetapi kali ini lain. Suaminya yang sudah membersihkan diri setelah hampir setengah hari mengerjakan tanaman di sawah sebelah barat membuat ia terpaksa meminta suaminya mengambil terlebih dahulu, kemudiaan ia mengikutinya. Itu karena  ia tidak tau pasti kapan ayahnya akan bangun dari tidurnya, ia tidak ingin membangunkan ayahnya karena ia merasa kasihan kepada suaminya dan ia sendiri yang sudah terasa lapar. Nasi yang masih utuh di dalam wakul yang dikelilingi oleh cowek penuh sambal brambang (bawang merah), sayur atau jangan asem serta gorengan tempe dan ikan asin ia ambil. Semua itu telah siap  di atas meja makan terselungkupi dengan tutup besar terbuat dari anyaman rotan kecil. Ia dan suaminya benar--benar menikmati masakan yang telah dibuat dan disiapkan oleh ibunya dan dia tadi. Seperti biasanya, setelah makan siang Juminah menyibukkan dirinya kembali  dengan pekerjaan di rumahnya. Kali  ini ia harus menjaga jemuran jagung di pelataran samping rumahnya sambbil duduk di atas susunan bata pembatas rumah dan pelataran samping ditemani oleh dua tetangganya yang ingin membunuh waktu mengobrol bersama.

Lain halnya dengan Sumiatun, ia tetap setia menunggu suaminya makan terlebih dahulu sebelum gilirannya. Rasa laparnya mendorongnya untuk melihat suaminya yang sudah tertidur lebih dari dua jam lamanya itu tetapi masih belum terbangun. Ia merasa ada suatu keanehan dari cara tidurnya dan itu membuatnya menyentuh bagian kaki suaminya untuk membangunkan dari tidurnya. Sentuhan lembut istri tidak membangunkan Suprapto.  Lelaki itu tetap saja tidak terbangun walaupun kakinya digoyang cukup keras bagaikan gempa bumi menggoyang pepohonan. Kecurigaan Sumiatun ternyata benar, Suprapto tidak akan  pernah bangun lagi dari tidurnya, dia sudah wafat tanpa ada yang mengetahuinya. 
Jeritan dua wanita ibu dan anak  membuat para tetangganya berdatangan. Secepat kilat Sutarjo membenarkan posisi jasad di depan dua wanita yang ia cintai itu dengan menaruh kedua tangan ayah mertuanya ke atas dadanya. Lalu ia ambilkan jarik istrinya dari dalam lemari di dalam kamarnya. Ia menutup seluruh tubuh Almarhum Suprapto dengan jarik  milik istrinya. Inilah akhir kali mereka melihat lelaki yang mereka cintai, lelaki tabah dan kuat itu kini sudah pergi untuk selamanya. Di rumah itu yang menjadi kepala keluarga sejak saat itu adalah Sutarjo, lelaki yang sangat hormat kepada ibu dari istrinya. 

Bagi Sumiatun, ini adalah kali kedua kehilangan seorang suami. Yang lalu suaminya sering menghilang ke wanita lain sebelah desa suaminya. Ia terpaksa pulang kepada orang tuanya meninggalkan suami dan anak perempuannya tinggal bersama berkas mertuanya di desa suaminya. Nasehat dan tegoran sudah tidak mampu lagi menghentikan suaminya membelokkan hati ke wanita lain. Persiteruan hampir setiap saat di depan hidung kedua mertuanya membuatnya tidak tahan, selain kasihan kepada kedua mertuanya juga terhadap anak perempuannya yang masih kecil. Selanjutnya dia dan suaminya resmi berpisah sebelum suaminya menikah kembali dengan wanita lain yang ia idamkan ketika masih menjadi suaminya. 

Ditinggal mati Suprapto, suaminya kali ini Sumiatun sudah tidak ingin menikah kembali, cucu-cucunya dari Juminah sudah cukup membuat sibuk dari kegiatan kesehariannya dan membuat hatinya merasa teteram serumah bersama mereka. Walau terkadang dia rindu kepada cucunya yang lain dari putri dengan suami lamanya yang kini berada di Kalimantan,  luar pulau.

Bersambung.....


Thursday, January 2, 2020

Cerita Fiksi:: CINTA SETAN DAN BINATANG-2 - DESA KUTUKAN

DI BALIK SENJA

Banyak oarng di Tanah Jawa ini mengetahui kalau Bapak Proklamator Kemerdekaan berasal dari Surabaya. Suatu kota terkenal yang akhirnya disebut sebagai Kota Pahlawan. Sebuah sebutan yang melekat pada kota ini karena suatu peristiwa bersejarah yang terjadi pada awal bulan Nopember 1948, hampir seluruh penduduk Surabaya bahu-membahu bersama-sama menyingsingkan lengan dalam melawan tentara Sekutu yang hendak merebut kembali untuk menduduki Surabaya. Perlawanan yang memakan banyak korban di pihak warga Kota Surabaya diakhiri dengan suatu kemenangan yang dimotori oleh "Arek-arek Suroboyo".

Untuk mengenang para pejuang yang gugur dan memberi hormat akan keberanian Laskar Warga Surabaya walaupun dengan senjata seadanya dan berhasil mengalahkan tentara sekutu yang memiliki persenjataan dan peralatan perang yang jauh lebih lengkap dan canggih dibanding tentara Laskar, maka dimaklumatkan bahwa setiap tanggal 10 Nopember adalah Hari Pahlawan di Indonesia, merupakan hari yang mewajibkan bagi semua anak bangsa untuk mengheningkan cipta guna mengenang jasa para pahlawan yang sudah gugur dalam memperjuangkan tegaknya Bendera Merah Putih, tetap bersatunya semua komponen bangsa, serta tetap berdiri kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang lebih penting lagi adalah, kegigihan semangat dalam menghadapi tantangan walaupun tantangan itu besar dan dengan fasilitas yang terbatas, semangat juang yang tinggi akan membuahkan hasil yang dicita-citakan.

Namun pada perjalanannya, Indonesia selalu ada gejolak didalam perebutan kekuasaan di dalamnya. Baik itu di awal berdirinya Negara ini sampai dengan duapuluh tahun sejak kemerdekaannya. Akan tetapi berkat kepemimpinan Bapak Bangsa yang kokoh, Sukarno, semua pemberontakan dapat ditumpas. Semua elemen Bangsa masih lebih mempercayakan amanat mereka kepada Sukarno sebagai Pimpinan Pemerintah Indonesia. Seperti pepatah lama mengatakan, "tak ada gading yang tak retak".  Demikian pula Sukarno sebagai pemimpin Bangsa Indonesia, akhirnya Sukarno harus menjalani tahanan kota yang diberlakukan oleh Pimpinan Militer yang telah didaulat untuk mengambil alih kekuasaan dari Sukarno sampai menghembuskan nafas terakhirnya.

Sejak setelah awal-awal kekuasaan Sukarno berpindah tangan, situasi Negara menjadi kacau. Anggota Partai Komunis Indonesia dianggap sebagai biang kekacauan yang diawali dengan peristiwa menurut rezim yang dikenal dengan rezim Orde Baru (Orba) disebut sebagai Gerakan 30 September oleh Partai Komunis atau yang disingkat dengan G30S/PKI. Suatu peristiwa yang diawali pada malam hari tanggal 30 September 1965 di Jakarta. Sekelompok tentara dari Angkatan Darat melakukan  penculikan dan pembunuhan terhadap Perwira Tinggi Militer dari Angkatan Darat pula yang dipimpin oleh Kolonel Untung. Sekilas sepertinya suatu persaingan di tubuh Angkatann Darat, demikian kesimpulan buku berjudul "A PRELIMINARY ANALYSIS OF THE OCTOBER 1, 1965, COUP IN INDONESIA oleh Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey dari Cornell University Itacha, New York yang ditebitkan pada tahun 1971,  akan tetapi rekaan itu dibantah oleh kelompok yang menumpas bahwa, peristiwa itu dilakukan oleh anggota Angkatan Darat yang memihak kepada Partai Komunis  Indonesia (PKI). Meraka menculik dan membunuh para petinggi Angkatan Darat yang tidak sejalan dengan idiologi PKI.

Spektrum peristiwa yang telah terjadi di Jakarta itu semakin lama semakin jauh merambat bagaikan gelombang di lautan ke seluruh pelosok Negeri. PKI sebagai tertuduh mulai dimusuhi oleh hampir semua elemen masyarakat Indonesia.  Semua media pemberitaan dibatasi kecuali yang dikendalikan oleh Orba.  Apakah itu berita dari media cetak, radio ataupun telivisi harus tunduk kepada aturan Pemerintah Orba. Akibatnya sudah jelas, Orba sepenuhnya mengendalikan informasi yang disajikan kepada masyarakat Indonesia di seluruh Nusantara. Apabila Orba menghendaki merah yang diberitakan, maka yang putih sekalipun harus ditinggalkan, demikian juga sebaliknya..

SEJUKNYA ANGIN DESA

Merupakan suatu keadaan yang sudah biasa di setiap bukit akan ada batu-batu cadas yang menjulang, bahkan bukit yang suburpun dipastikan di bawahnya adalah batu cadas pula. Itu dikarenakan pembentukan bukit ada berbagai macam cara, seperti; yang pertama karena dorongan lempengan tektonik ke permukaan,  hal ini menyebabkan lempeng tektonik dan magma membentuk yang disebut gunung vulkanik. yang kedua adalah lempeng bumi saling bertabrakan di kerak bumi, hal ini akan mengakibatkan terbentuknya bukit lipatan, yaitu suatu bukit terjal dengan lembah yang panjang, lempeng tektonik yang menabrak kerak lapisan bumi akan mengakibatkan lapisan kerak bumi naik mengambang di atas lapisan lempeng tektonik, dan yang ketiga adalah lapisan kerak melewati lapisan kerak yang lain, hal ini akan mengakibatkan yang disebut blok sesar, yaitu pegunungan dari kerak bumi yang saling tumpang-tindih akibat dari pergerakan tidak searah bahkan berlawanan arah, sehingga yang satu akan bergerak di atas yang lainnya. dan yang keempat adalah disebabkan proses erosi, terbentuknya gunung ini disebabkan oleh erosi air,  angin, gravitasi ataupun es, ciri gunung seperti ini biasanya bebentuk piramida ataupun lingkaran berbentuk mangkuk yang di dalamnya  terdapat danau. Dan dipastikan gunung yang ada di desa di mana Sutarjo dilahirkan bukan dari gunung yang disebabkan oleh erosi, paling mungkin adalah gunung tipe kedua, yaitu lempeng bumi saling bertabrakan di kerak bumi. Daerahnya terjal dengan batu cadas berdiri di mana-mana, sehingga  bertanipun kesulitan untuk mendapatkan tanah yang idial seperti tempat pertanian di kontur tanah landai. Inilah yang menyebabkan Sutarjo terbiasa dengan hidup keras, karena dia sudah ditempa oleh alam di mana dia tumbuh sejak dia dilahirkan.

Sutarjo sejak kecil hidup di  sebuah rumah persis di lereng bukit Gabah, suatu daerah yang bisa dikatakan terisolir dari desa-desa lainnya. Setiap anak yang ingin menuntut ilmu di sekolah formal, maka dia harus rela turun bukit di pagi hari ketika berangkat, lalu naik lagi pada siang hari ketika pulang sekolah. Waktu jarak tempuh sekali berangkat sampai tigapuluh menitan, dan ketika pulang bisa lebih dari itu. Orang tua Sutarjo selain bertani juga di rumahnya membuka toko kelontong. Bahkan bukan hanya seperti toko kelontong kebanyakan yang dijual di tokonya, apapun yang penduduk desa itu perlukan, maka orang tua Sutarjo akan melayaninya, walaupun barang dagangan yang diperlukan tidak ada dipajang di tokonya.

Mata pencaharian penduduk desa ini dipastikan bukan hanya mono-income saja, akan tetapi multi-income, sebagai petani dan pencari batu, sebagai petani dan pencari kayu, atupun sebagai petani dan pencari rumput liar. Ini karena tanah-tanah garapan untuk bertani umumnya kecil saja. Tebing-tebing batu cadas lebih mendominasi keadaan tanah di desa ini. Waktu untuk bertani tidak cukup melelahkan apabila dibandingkan dengan kekurangan penghasilan yang diperlukan untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari. Kendaraan jarak jauh mereka adalah dengan mengandalkan kuda, ini dipakai apabila ingin pergi ke pasar yang berada di desa di kaki bukit sebelum jalan raya. Setiap dua hari sekali ada saja orang yang akan ke pasar. Adalah merupakan suatu kebiasaan memesan barang yang diperlukan dari pasar kepada yang akan ke pasar dengan berkuda. Kuda-kuda akan membawa kantong-kantong besar yang diselempangkan di atas punggung bagian belakang di belakang pengemudi yang naik kuda. Inilah untungnya juga membuka toko kelontong seperti yang ayah Sutarjo lakukan. Jadi, kuda itu bagaikan ojeknya orang gunung Gabah.

Hubungan antar penduduknya seperti nasi di dalam kuali, erat sekali. Sehingga kesusahan  yang terjadi terhadap salah seorang di desa itu akan segera diketahui oleh penduduk lainnya, bahkan mereka akan membantu sekuatnya. Ketika malam tiba keadaan sepi dan sunyi seperti masuk di areal kuburan saja. Kalau ingin berjalan di malam hari dipastikan akan membawa obor sebagai penerangan jalan. Sayup-sayup dari kejauhan ada suara anak-anak yang sedang belaajar mengaji, di sebuah yang mereka sebut masjid. Anak-anak baik putra ataupun putri seperti tumpah ruah di masjid Ilmulyaqin, demikian orang-orang menyebut nama masjid terbuat dari kayu dan beralaskan tikar yang digelar kokoh di atas hamparan semen di atas tumpukan batu-batu gunung yang ditata itu.  Untungnya di daerah sekitar pegunungan  Gabah itu bisa dipastikan tidak ada binatang buas kecuali ular. Ular-ular kebanyakan mengembara untuk mencari mangsa pada malam hari. Dan ukurannya pun kecil-kecil, tidak akan ada yang akan memangsa manusia secara utuh, terlalu besar ukurannya bagi seekor ular yang ada di gunung Gabah. Akan tetapi ada beberapa ular yang berbisa membahayakan kehidupan, dialah salah satunya adalah ular kobra hitam. Walaupun ada cerita rakyat bahwa yang menunggui bukit Gabah adalah seekor ular paiton yang pada saat tertentu keluar untuk mencari mangsa terutama manusia jahat, selama ini tidak satupun ada orang yang dimangsa oleh ular paiton cerita itu. Atau mungkin karena sampai saat ini masih tidak ada orang jahat di sekitar bukit Gabah.

Demikian dalam keagamaan, mereka seratus persen seluruh penduduk di desa itu adalah pemeluk agama Islam. Demikian juga golongan atau istilah terkenalnya organisasi yang diikuti, adalah Barisan Tani Indonesia atau dikenal dengan nama BTI, disebut Beti oleh orang desa Sumber Rejo, gunung Gabah ini. Merupakan organisasi penghubung antara Partai Komunis Indonesia dengan para petani di Indonesia. Awalnya hanya ada satu dua orang yang menjadi anggota, dari mulut-ke mulut akhirnya semua penduduk desa itu menganggap diri mereka adalah anggota BTI walaupun secara organisasi hanya beberapa orang saja yang menjadi anggota, termasuk di dalamnya adalah Sugimin, ayah Sutarjo.

SUTARJO

Sutarjo muda seperti anak-anak kebanyakan di desanya, pagi ke sekolah dengan berjalan kaki hampir ke kaki bukit. Dia biasa berteman dengan anak satu sekolah dari desa-desa sekitar gunung Gabah. Teman-temannya menaruh hormat kepada Tarjo panggilan Sutarjo karena keseriusannya. Tarjo baik hati tetapi anaknya tegas. Guyon akan ia lakukan tetapi bukan semua topik ia bikin guyon, lain dengan kebanyakan teman-temannya. Walaupun prestasi akademiknya biasa saja, tetapi di dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan tugas di luar mata pelajaran, Tarjo memiliki keunggulan dibandingkan teman-temannya yang lain. Sutarjo orangnya mudah bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Senang mempelajari hal-hal yang bersifat pekerjaan tangan. Dia bisa membuat sangkar burung sendiri, bahkan terkadang dia jual di pasar juga sangkar yang sudah jadi.  Selain senang memelihara burung, dia juga memiliki beberapa ayam juga. Tentang pakan untuk burung ataupun ayamnya, dia mencarinya dari daun atau buah-buahan liar di sekitar gunung desanya.

Sutarjo sudah terkenal apabila orang tuanya memiliki toko kelontong. Terkadang diapun membawa pesanan barang dari toko orang tuanya apabila ada yang memesannya. Yang penting barang atau bahan makanan yang dipesan bisa dibawa atau digendong sekuat tenaganya.  Dia tidak memiliki kuda, juga dia tidak naik kuda ketika pergi ke sekolah. Bahkan beberapa temannya dengan tangan kosong membawa kayu bakar hasil pengumpulan yang didapat dari alas di atas gunung di tumpuk di sekitar sekolah untuk nanti setelah jam sekolah berakhir dijual di pasar sekitar satu lereng turun ke bawah sekitar sepuluh menitan dari sekolahnya.

Di pasar, bukan sembarang kayu yang tengkulak mau membeli. Mereka hanya akan membeli kayu-kayu kering saja dengan cara ditimbang. Dan juga, kayu basah akan berat bagi anak-anak untuk dibawanya, toh harga jualnya sangat jauh apabila dibandingkan dengan harga kayu kering.  Timbangan terbuat dari batang besi sepanjang hampir 1 meter bagaikan linggis yang dipakai oleh orang-orang untuk menggali batu-batu cadas di gunung tetapi bergaris-garis seperti yang ada di setiap penggaris dan satu sisi pendeknya diberi  pemberat tetap terbuat dari kuningan, di sisi panjangnya juga diberi pemberat yang sama akan tetapi pemberat ini dapat digeser-geser pada lubang di tengahnya sesuai keseimbangan yang ditimbang.  Manakala skala yang ada tidak mencukupi karena berat yang ditimbang melebihi kapasitas,  maka di bagian yang pendek akan ditambahi pemberat timbangan yang sudah dipersiapkan. Pemberat-pemberat tambahan itu sama seperti timbangan lain yang dipakai di pasar yang digunakan untuk timbangan utamanya beras sampai sekitar maksimum 5 kilogram. Timbangan seperti itu juga ada di rumah Sutarjo, untuk dipakai menimbang dagangan yang akan dijual ataupun apa saja yang akan dibeli termasuk juga kayu bakar.

Di hari libur sekolah, pada sore sampai dengan sebelum petang para remaja desa melakukan aktifitas utamanya belajar beladiri. perkumpulan Pencak Silat Elang Hitam adalah satu-satunya perguruan seni beladiri di gunung Gabah, dan tentu sangat terkenal pada saat itu. Guru silatnya, Guru Solikin, demikian nama master guru silat Elang Hitam dibantu oleh anak lelaki satu-satunya, Eko Tirto,  pernah berkata, belajar seni beladiri bukan untuk dipakai berkelahi saat diserang orang, akan tetapi menghindari konflik. Karena menghindarpun harus memiliki seni, kecuali menghindar tidak lagi mampu untuk mencegah serangan, maka bertahan adalah langkah selanjutnya. Menyerang adalah hal yang paling akhir. Itu yang akan diingat oleh pengikut pencak silat ini. Walaupun ada beberapa yang sudah memiliki tingkatan tinggi sekelas ban hitam, namun mereka tetap tidak akan merasa sombong, karena seni beladiri yang dimiliki adalah untuk menghindari serangan.

Seni beladiri tanpa dipungut biaya ini hormat pada guru silatnya memiliki sekitar 12 remaja mulai dari usia 14 tahun sampai dengan usia 18 tahun. Sutarjo adalah murid yang paling baik,walau tidak banyak omong, dia adalah anak remaja yang paling bagus seni beladirinya diantara semua teman seperguruannya. Tarjo terkadang membantu sang guru apabila Eko berhalangan. Eko sering bepergian mengurusi dirinya sendiri karena tidak lama lagi dia akan menikah, tepat pada awal bulan Desember ini ketika usianya akan menginjak 26 tahun setelah 6 bulan lagi.

Sedangkan anak-anak lain terutama yang berusia kurang dari 10 tahun bermain bebas saja. Walau ada beberapa yang tidak sekolah, namun mereka seolah sama saja, bermain semaunya. Permainan bola kasti dan patelele adalah yang paling populer diantara anak-anak. Tempat bermain kasti tepat di belakang Masjid, sedangkan patelele di samping kanan Masjid. Dua lapangan itu merupakan tempat bermain permainan desa, tidak ada yang lain di desa itu. Semua pemuda akan pernah merasakan bermain di lapangan Masjid Ilmulyaqin suatu desa paling atas selatan gunung Gabah,  itulah Desa  Sumber Agung yang terletak di Kecamatan WatuAgung, dan masih termasuk Kabupaten Nganjuk. Desa yang hampir pasti penduduk dewasanya merasa sebagai pengikut BTI.

Bersambung...


Wednesday, January 1, 2020

Cerita Fiksi:: CINTA SETAN DAN BINATANG-1 - PENDAHULUAN

PENDAHULUAN 

Suhu sore ini terasa sepetti sore hari di daerah Puncak, Bogor, Jawa Barat. Itu yang dirasakan oleh dua orang Indonesia sore ini. Mereka sedang menikmati suasana di tepian Creek Park, Dubai.  Creek Park adalah sebuah taman di sebelah kanan bantaran kanal air asin di Kota Dubai di lihat dari dalam kota, yang memiliki suatu taman asri dipenuhi dengan berbagai tanaman bunga dan air mancur, serta lorong-lorong pejalan kaki buatan yang bersih dan dilengkapi dengan tempat pemberhentian bertempat duduk terbuat dari logam anti karat dan hampir semuanya menghadap ke kanal. Pemandangan orang-orang yang sedang menikmati suasana sore ini terkadang kelihatan mencolok apabila membandingkan antara dua orang lelaki Indonesia empatpuluh tahunan dan seorang lelaki kulit putih (bule) yang sedang berpapasan ketika mereka berjalan. Udara sedingin ini si Bule berjalan tanpa memakai jaket kecuali kaos oblong dan celana jeans sedangkan dua orang Indonesia itu, seorang memakai jaket kulit dan yang satunya memakai sweater terbuat dari kain berbahan wool. Di akhir bulan Januari merupakan puncak musim dingin di daerah Persatuan Arab Emirates di mana Dubai berada.

Dua orang Indonesia yang pernah bersahabat ketika mereka masih duduk di satu sekolah suatu SMA di Jakarta, kini sedang berjalan di Creek Park, Dubai sambil menikmati cerita nostalgia mereka setelah lama tidak berjumpa karena profesi mereka yang berbeda. Setelah lulus SMA masing-masing harus berpisah. Mereka adalah Roni dan Toni. Roni harus kuliah ke Fakultas Teknik di suatu perguruan tinggi di Kota Bandung dan Toni tetap di Jakarta karena kuliah di Jurusan Hukum di salah universitas swasta ternama di Jakarta. Setelah menyelesaikan kuliah mereka, Roni beketja di Perusahaan Minyak Asing sedangkan Toni memilih bekerja sebagai pembantu pengacara sambil meneruskan kuliah magisternya jurusan Ilmu Politik. Inilah yang mebuat Toni ketika dia lulus dari magisternya memilih beraktivitas di dalam Partai Golkar, suatu partai yang terbentuk dari turunan suatu golongan bernama Golongan Karya disingkat Golkar. Golkar sebelum menjadi sebuah partai merupakan kendaraan politik bagi golongan yang pro penguasa ketika Orde Baru (Orba) berkuasa di Indonesia selama tigapuluh dua tahun lamanya.

Ayah Roni saat itu merupakan seorang karyawan perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia. Sedangkan ayah Toni  merupakan purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan pangkat terakhir adalah Brigadir Jendral dari kesatuan Angkatan Darat di Jakarta, dan ketika pensiun menjabat sebagai salah satu Bupati di salah satu Kabupaten di Propensi Jawa Barat  sebelum Orba tumbang.

Ketika Orba tumbang datanglah era baru yang disebut era Reformasi. Suatu era yang terbentuk dengan memakan korban menurut Komisi Hak Azasi Manusia sekitar 2000 orang meninggal dunia serta ratusan toko, mall dan supermarket menjadi ladang penjarahan dan penbakaran. Walaupun Orba tumbang akan tettapi Golongan Karya (Golkar) tidak ikut dilarang melainkan Golkar yang sejatinya merupakan suatu golongan bertransformasi menjadi suatu partai polttik baru, dengan nama Partai Golkar.

Bagi Toni untuk masuk sebagai anggota Partai Golkar tidaklah sesusah bagi mereka yang bukan dari anak bekas petinggi TNI, berkat keadaan ayahnya yang cukup memiliki kedudukan ketika Orba berkuasa dan hampir semua anggota Golongan Karya hanya berganti baju dari Golkar lama memakai baju Partai Golkar, maka dia dengan cepat memiliki kartu anggota Partai Golkar, bahkan kini Toni berhasil menjadi salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta Raya.

Toni saat ini sedang dalam perjalanan pulang dari  kunjungan kerja melakukan studi banding di Eropah dan sedang singgah di Dubai karena transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, sekalian turun untuk bertemu dengan anggota masyarakat di Persatuan Emirat Arab dalam menambah data studi banding rombongannya. Di dalam forum tatap muka yang berlangsung di ruang pertemuan KJRI Dubai secara tidak sengaja Toni dan Roni bertemu, Roni saat ini di Dubai karena dia sedang bekerja di salah satu perusahaan minyak asing yang berkantor di Dubai. Pendek cerita lalu Roni membuat janji dengan teman SMAnya itu untuk melakukan jalan-jalan menikmati Kota Dubai agar dapat melampiaskan kerinduan dan menceritakan banyak cerita hidup mereka yang telah terjadi selama perpisahan itu sampai akhirnya memasuki suatu taman Creek Park, Dubai.

Mereka berdua terus berjalan menyusuri Creek Park sampai mata Toni menatap pada seorang wanita muda bule yang betpakaian "you can see" (pakaian yang hanya menutup utamanya bagian-bagian sensitip badan dari seorang wanita dewasa, sedangkan seluruh lengan termasuk keteaknya tidak dibalut oleh pakaian yang dipakai) dalam udara sedingin ini. Toni sambil melirik si Bule bertanya kepada Roni,
"Ron..!, siapa itu?" Sambil mengedipkan mata dengan alis agak diangkat dan menggoyangkan seolah  melemparkan kepalanya ke arah si perempuan Bule berbadan seksi dengan aurat terbuka itu.
Dan dengan pengalaman hidup di Dubai selama lima tahun ini, Roni lalu menjawab dengan yakin, "Itu sih...., nampaknya perempuan dari Rusia".
"Rusia...? Tanpa menunggu jawaban Roni selanjutnya Toni memotongnya dengan lanjutan pertanyaan itu. Lalu Roni menimpali dengan jawaban keheranan,
"Iyya..!, memangnya kenapa?..., ellho tertarik?", Roni melanjutkan, "Ellho sekarang Wakil Rakyat.., hati-hati entar ketahuan rakyat ellho...!", canda si Roni sambil tertawa, "Hahaha".
"Rusia khan komunis..., di Negara kita.., rumor komunis mah terkenal..., bahwa darah mereka halal, apalagi hanya menikmati tubuh mereka...!" potong si Toni.
"Hahahaha...." mereka berdua tertawa agak panjang sampai Toni menambahkan lagi candaannya,
"Orang Cina juga".
"Hahahaha......." tawa mereka semakin meledak-ledak.
"Kamu masih saja sama seperti dulu kalok lihat cewek....", sahut Roni ketika kepuasan tawa mereka hampir berakhir.
"Enggak, enggak..., aku sudah melupakan yang dulu-dulu, ini tadi mungkin karena sedang ada setan lewat..", sahut Toni yang disahut dengan tawa keduanya sambil Toni mengangkat tangan kanannya lalu Roni seolah menjulurkan tangan kanannya dengan telapaknya ditengadahkan ke atas seolah tau apa yang diinginkan Toni,  lalu, "prak", suara dari kedua telapak tangan lelaki itu saling menepuk, Toni menepuk tangan Roni.

Ketika agak letih karena telah menyusuri jalan-jalan di dalam  Creek Park lalu mereka duduk di atas kursi taman terbuat dari beja cor membentuk  corak artistik yang didominasi lengkungan-lengkungan berujung lancip bagaikan pohon sirih yang menghadap ke jalan tepian kanal. Lalu-lalang perahu tradisional atau restoran terapung di balik jalan tepian bibir Creek Park terlihat jelas oleh mereka, dan tentunya ini menambah indahnya suasana sore cerah yang semakin gelap menyambut datangnya malam ini sampai melintas seorang wanita berperawakan kecil ukuran rata-rata wanita Asia Tenggara. Dalam suasana agak remang wanita itu nampak berkulit kuning langsap, dia dari jarak pandang mereka sedang berjalan menuju ke arah jalan setapak di depan tempat mereka sedang duduk.

Lalu Roni bertanya lagi untuk melampiaskan penasarannya melihat gadis Asia di Creek Park in,
"Tuh lihat siapa yang datang, pasti wanita Indonesia!". Lagi-lagi Toni salah menebaknya, dan berikut ini yang dikatakan Roni;
"Haha..., itu mah orang Vietnam....!".
"Vietnam...?, komunis juga, doong...!"
"Hahahaha.....", mereka larut dalam tawa mereka membayangkan rumor bahwa tubuh wanita komunis adalah halal untuk diapakan saja.
"Kamu masih tetap saja seperti dulu badumgnya, Ton", demikian Roni menyambung pembicaraan mereka setelah tawa mereka mulai reda.

Toni hanya terdiam sejenak lalu ia menjawab singkat, "mungkin ini penyakit turunan...".
"Hahaha...!", Roni menjawab canda tulus pengakuan temannya itu, lalu mereka terus saja duduk di situ.

Sambil duduk mereka menerawang jauh, mereka masing-masing lalu mengingat masa-masa SMA dulu, mengingat banyak teman kelasnya yang ceriah-ceriah, masa SMA merupakan masa awal seseorang dalam mencari jatidiri, suatu masa start-up dimana apabila pada masa itu start-nya baik, kemungkinan besar seseorang akan menjadi orang yang baik pula, demikian pula apabila seseorang pada masa SMA melakukan start yang keliru, maka akhir cerita dari orang itu akan dapat ditebak, kemungkinan besar dia tidak lebih dari rata-rata kebanyakan orang

Ketika SMA Roni lebih pendiam dibandingkan dengan Toni. Roni lebih menyukai pelajaran ilmu pasti dibandingkan dengan Toni. Roni lebih suka berolahtaga dibandingkan dengan Toni. Tetapi Toni lebih suka musik dibandingkan dengan Roni. Toni lebih supel dalam bergaul daripada Roni, sehingga Toni lebih mudah bergaul dengan siapa saja termasuk dengan teman-teman wanitanya baik di SMA ataupu di luar sekolahnya. Sehingga Toni lebih banyak memiliki teman wanita baik di sekolah ataupun di luar sekolah. 

Toni berasal dari keluarga TNI, ayahnya seorang pensiunan Perwira Tinggi Angkatan Darat dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal lalu menjadi Bupati di salah satu Kabupaten di Propensi Jawa Barat. Sedangkan keluarga Roni, ayahnya berlatar belakang sebagai pegawai Perusahaan Minyak Asing, suatu perusahaan swasta dengan posisi terakhir sebagai Kepala Bidang Pengadaan Barang-Barang Impor. Tentu keluarga Toni dalam berpolitik seratus persen berada di pihak Orde Baru (Otba) sedangkan keluarga Roni lebih bebas dalam memilih kecendrungan pilihan politiknya walaupun seperrti keluarga lainnya di masa Orba, didepan Orba tidak akan berani betolak belakang dengan arah garis politik Orba, kalau tidak, mereka akan diberi label antek-antek Partai Komunis IndonesiaPKI yang terlarang.